KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DAENDELS YANG MENDORONG MASYARAKAT UNTUK MELAKUKAN PERLAWANAN ATAS PEMERINTAHANYA.
Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.
Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut.
- Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
- Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
- Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
- Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.
Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat.
- Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan.
- Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
- Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
- Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
- Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orangorang pribumi.
- Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
- Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
- Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
- Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.
( Drs.Rusmandi Parsage:2004)
Dalam melaksanakan pemerintahannya di Indonesia, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, hak-hak bupati mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat.
Selama memerintah, Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang “bertangan besi”. Ia memerintah dengan menerapkan disiplin tinggi, keras, dan kejam. Bagi rakyat atau penguasa lokal yang ketahuan membangkang, Daendels tidak segan-segan memberi hukuman. Hal ini dapat dibuktikan saat Daendels menjalankan kerja rodi untuk membangun jalan raya Anyer – Panarukan sepanjang 1.000 km. Dalam pembangunan tersebut, rakyat dipaksa kerja keras tanpa diberi upah atau makanan, dan apabila rakyat ketahuan melarikan diri akan ditangkap dan disiksa. Rakyat sangat menderita.
Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a. kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b. munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c. pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d. kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan.
(Prof.Dr.M.Habib Mustopa dkk/yudistira:2006)
Sebagai penganut jacobism, Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah Banten, ia mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta telah memutuskan untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah Daendels pada 1808, Mangkunegara II mendapat pangkat kolonel dan membentuk Legiun Mangkunegara beranggotakan 1.150 prajurit serta mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun. Sementara itu, Saudara ipar Sultan Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan pemberontakan atas Daendels yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan, Daendels dapat mengatasi pemberontakan. Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta digantikan oleh putra mahkota. Atas pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma dan Natadiningrat, dikirim ke penjara Cirebon.
PERGERAKAN RAJA JAWA ATAS SIKAP DAENDELS
Dalam upaya melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa, ia membubarkan pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa dan menurunkan pejabatnya yang waktu itu dijabat oleh Nicolaas Engelhard. Langkah politik pertama Daendels khususnya terhadap raja-raja pribumi ditunjukkan dengan tuntutannya bahwa semua raja pribumi di Jawa tunduk kepada Raja Belanda, Louis Napoléon, yang berada di bawah perlindungan Kaisar Napoléon Bonaparte. Oleh karena itu, raja-raja pribumi harus menyatakan untuk tunduk, setia dan meminta perlindungan kepada raja Belanda dan Kaisar Prancis.
Bertolak dari kebijakan ini, Daendels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa sama seperti dengan raja Belanda, karena pemerintah Belanda di Batavia mewakili raja Belanda. Oleh karena itu, hubungan itu harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan status mereka. Langkah yang diambil oleh Daendels untuk mewujudkan maksud ini adalah dengan mengeluarkan peraturan baru. Daendels mengeluarkan dua peraturan penting, pertama adalah menghapuskan jabatan residen di masing-masing kerajaan Jawa dan menggantikannya dengan pejabat baru, yaitu minister. Berbeda dengan residen yang merupakan pegawai pemerintah kolonial, minister adalah utusan dari Raja Belanda di Batavia yang mewakili kepentingan penguasa Belanda di kraton-kraton Jawa. Dengan demikian minister memiliki kekuasaan penuh sebagai pemegang mandat dan wakil dari Gubernur Jenderal di Batavia.
Yang kedua, berkaitan dengan perubahan pertama, adalah dikeluarkannya peraturan baru oleh Daendels tentang tata upacara penyambutan minister di setiap kraton Jawa. Karena statusnya sebagai wakil penguasa Eropa, minister harus diperlakukan sejajar dengan raja Jawa dalam hal status dan kedudukannya. Minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam kraton. Minister juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di kraton Jawa.15
Di Kesunanan Surakarta, Sunan PB IV segera menyanggupi untuk melaksanakannya. Sebaliknya di Kraton Yogya, peraturan baru yang hakekatnya mirip dengan tuntutan van Overstraten tahun 1792 itu ditolak oleh Sultan HB II. Pieter Engelhard, Minister pertama di Yogyakarta, tetap diperlakukan seperti residen Belanda sebelumnya. Ketika Pieter Engelhard menuntut agar peraturan itu dilaksanakan, Sultan HB II tidak bersedia menemuinya. Engelhard melaporkan hal ini kepada Daendels pada kesempatan kunjungan Daendels ke Semarang.
Setelah mendengar laporan Engelhard tentang sikap Sultan HB II, Daendels bermaksud untuk datang sendiri ke Yogya dengan maksud memaksa Sultan HB II untuk melaksanakannya. Ketika Sultan HB II mendengar berita bahwa Daendels bermaksud datang ke Yogyakarta dengan membawa sejumlah besar pasukan, Patih Danurejo II diperintahkan untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa Sultan bersedia menerapkan aturan itu. Pertemuan Daendels dan Danurejo II berlangsung di Kemloko. Ketika mendengar laporan Danurejo II, Daendels membatalkan maksudnya untuk berkunjung ke Yogyakarta dan kembali ke Batavia melalui Surakarta.16
Persoalan kedua yang menimbulkan ketegangan antara Daendels dan Sultan HB II adalah tuntutan Daendels untuk pengambilalihan hak pengelolaan hutan dan penyerahan monopoli penebangan kayu milik raja-raja Jawa. Daendels menghendaki agar monopoli penebangan kayu dikuasai oleh pemerintah mengingat persediaan kayu di hutan-hutan pemerintah tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur pertahanan Jawa. Bagi Kesunanan Surakarta yang tidak memiliki banyak hutan, tuntutan itu bukan merupakan masalah. Sebaliknya, bagi Kesultanan Yogyakarta hal ini menjadi masalah besar, mengingat kayu menjadi salah satu sumber pendapatan utama kraton Yogyakarta.
Wilayah hutan Yogyakarta terletak di Monconegoro wetan, yaitu daerah Madiun sampai ke Mojokerto (dahulu bernama Japan). Wilayah ini diperintah oleh menantu Sultan HB II yang sekaligus menjadi panglima pasukan Kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo Prawirodirjo. Ketika Ronggo mendengar tuntutan Daendels, ia mengusulkan kepada Sultan HB II agar menolak tuntutan itu. Ronggo siap menjamin keselamatan Sultan dan Kesultanan apabila Daendels marah terhadap penolakan tersebut. Ronggo yang dianggap sering mengganggu penduduk di Delanggu (perbatasan Kraton Surakarta dan Yogyakarta) dianggap sebagai pemberontak oleh Daendels. Oleh karena itu, ia mendesak sultan untuk segera menyerahkan Ronggo kepada Daendels pada bulan November 1810.
Ronggo yang merasa memperoleh dukungan dari kraton Yogyakarta, khususnya dari kalangan kerabat kraton (Pangeran Notokusumo, Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat) menolak menyerahkan diri. Akibat tekanan yang terus menerus, akhirnya HB II bersedia memenuhi tuntutan Daendels untuk mengirim Ronggo, Notokusumo dan Notodiningrat ke Batavia. Di tengah perjalanan, Ronggo memisahkan diri dengan rombongan untuk kembali memberontak. Ronggo kembali ke Madiun dengan membakar desa-desa wilayah Kesunanan Surakarta.
Ketika pada akhir November 1810 Daendels mendengar berita kembalinya Ronggo ke Madiun, ia memerintahkan agar pasukan gabungan dibentuk di bawah Letnan Paulus dengan tujuan menangkap Ronggo hidup atau mati. Melalui Pieter Engelhard (Minister Yogyakarta), Daendels mendesak Sultan HB II agar ikut mengirim pasukan. Sultan HB II kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Purwodipuro. Pasukan dari Yogyakarta mulai berangkat ke Madiun pada awal Desember 1810. Pasukan gabungan Belanda, Kesultanan, Kesunanan dan Legiun Prangwedanan ini berhasil merebut pusat pertahanan Ronggo di Maospati pada tanggal 5 Desember 1810. Ronggo yang terdesak mundur bersama sisa pasukannya melarikan diri ke Kertosono. Setelah dilakukan pengepungan oleh Letnan Paulus, akhirnya Ronggo berhasil ditembak mati pada tanggal 19 Desember 1810 dan jenazahnya dibawa ke Yogyakarta. 20 Atas perintah Daendels, jenazah Ronggo dipamerkan di alun-alun Yogyakarta sebagai peringatan bagi setiap orang yang menentang perintahnya.
Setelah Ronggo terbunuh, Daendels melihat bahwa pemerintah kolonial telah mengalami kerugian yang besar akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh ronggo, dan curiga keterlibatan Sultan HB II dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Daendels memutuskan untuk berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.300 tentara. Pasukan sejumlah itu dibawa oleh Daendels untuk memaksa sultan agar bersedia melakukan perubahan di Kraton sekaligus menurunkan Sultan HB II dan mengangkat putranya menjadi sultan.
Berita kekalahan Ronggo baru diterima oleh Sultan tanggal 26 Desember 1810. Kematian Ronggo dilaporkan kepada Gubernur Jenderal yang saat itu sudah sampai di Kemloko yang jaraknya beberapa kilometer dari Yogyakarta. Dari Kemloko Daendels membalas surat HB II yang intinya sultan tidak perlu merasa takut karena ia hanya membawa 3.200 tentara yang digunakan untuk melindungi sultan dari musuh-musuhnya. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa 15 hingga 16 ribu tentara telah disiapkan untuk menuju ke Yogyakarta.
Pada tanggal 28 Desember sultan membalas surat Daendels yang intinya sultan bersedia menjalankan nasehat persahabatan Daendels. Setelah sampai di Yogyakarta, Daendels mengadakan pembicaraan dengan para pangeran kraton Yogyakarta yang intinya meminta dukungan untuk menurunkan Sultan HB II dari tahtanya dan menggantikannya dengan putra mahkota RM Surojo.
Pada tanggal 31 Desember 1810 Sultan HB II turun tahta. Ia tetap diizinkan tetap tinggal di kraton Yogyakarta. Putra mahkota diharuskan untuk menandatangani beberapa perjanjian dan kontrak politik baru. Dalam kontrak itu disebutkan bahwa penguasa penyambutan Minister, membayar biaya pengiriman pasukan, menyerahkan hak monopoli kayu dan pertukaran beberapa daerah Kesultanan dengan wilayah pemerintah. Selain itu, Daendels juga menuntut agar Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Notodiningrat diserahkan kepadanya. Kedua orang ini kemudian dibawa oleh Daendels sebagai tawanan perang dan dimaksudkan akan dihukum mati. Untuk sementara keduanya ditawan di Cirebon di bawah pengawasan Residen Waterloo.
Perjanjian baru yang dibuat pada bulan Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan, mengingat pada bulan Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens. Janssens memusatkan perhatian pada pertahanan Jawa dari serangan Inggris. Meskipun dibantu oleh pasukan dari raja-raja Jawa, pertahanan Janssens tidak mampu menghadapi serbuan Inggris yang mendaratkan pasukannya pada tanggal 4 Agustus 1811. Setelah bertahan sekitar satu setengah bulan, Janssens menyerah pada tanggal 18 September 1811 di Tuntang. Sejak itu Jawa berada di bawah penguasaan kolonial Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur jenderal.
(Silsilah Raja Jawa dan Perang jawa)
0 komentar:
Post a Comment